Kamis, 15 Januari 2009

Pondok Indah (1)

Rumah susun yang terletak tak jauh dari keramain kota kini telah musnah dilahap si jago merah. Kobarannya sangat tajam. Tak tersisa sekeping sajadah mungil milik santri santriwati. Apinya semakin merah, tak ada warna hijau, biru, ungu, terlebih pink yang menemani santapan api yang tak lagi bersahabat. Kini telah habis. Santri dan santriwati akhirnya digiring ke lokasi terbaru. Lokasi yang sangat jauh dari tempat semula. Syukur Alhamdulillah tak ada korban jiwa dalam insiden ini.
Tak pernah hilang, lepas bahkan melarikan diri semua memori Sinta di pondok indah itu. Pesantren Pondok Madinah. Itulah nama pondok indah Sinta. Pondok yang di dalamnya hanya menyanyikan nama-nama sang penguasa bumi. Tak ada kezaliman yang dibiarkan berkobar di sekolah kecil itu. Sungguh hanya asma Allah yang diagungkan di dalamnya. Hanya kitab-kitab yang berbagai jenisnya menemani hari-hari Sinta dan kawan-kawannya. Tak ada waktu sedetik pun terlewatkan untuk menonton televisi. Melihat aksi panggung fasha sang vokalis ungu. Keseksian Bunga Citra Lestari tak tertontonkan lagi. Mata, telinga, dan segala panca indra hanya asyik mendengar dan melihat huruf-huruf Allah.
Kriiing..kriinggg..kring…
Petanda shalat Ashar sebentar lagi akan datang. Seluruh penghuni bertaburan menuju sumber kehidupan. Yah, apalagi kalau bukan tempat mengambil air wudhu. Sinta dan penghuni kamar C.7 bahkan aku sendiri tak mau kalah. Secepat kilat menuruni anak tangga dari lantai tiga ke lantai satu. Seperti orang yang sangat takut kehabisan air. Bak air yang bervolume 3000 kubik tak akan kering hanya dengan kekurangan tujuh liter setiap santrinya.

WC Umum

Kotor, sampah berserakan kemana-mana, licin, itu bukan ciri WC kami. Bak raksasa yang tertancap di tengah adalah bak mandi kesayangan kami. Setiap harinya ada saja santri yang membersihkannya. Upz, maksud aku santriwati. Aku sebut saja santri karena terlalu panjang kalau aku harus menyebutnya santriwati. Lagipula tak ada makhluk adam di kompleks kami selain guru dan seorang satpam berwajah aneh. Hanya itu. Jumlahnya pun sangat bisa dihitung jari tanpa memerlukan bantuan jari kaki.
Tak lupa peralatan mandi ikut serta berlari bersama saat bel shalat Ashar itu berontak. Kali ini bel telah meraung-raung, waktu tersisa 30 menit lagi panggilan shalat akan ikut meraung. Sinta, Ani, dan aku sendiri masih punya waktu mensucikan seluruh badan dari ujung kepala hinga kaki. Bukankah menghadap sang Khalik dalam keadaan bersih dan cantik sangat baik?. Bahkan sejak kecil, orang tua kita selalu mewanti-wanti, kebersihan itu sebagian dari iman, besih itu pangkal kesehatan, dan mensucikan diri termasuk ibadah. Allah telah menitipkan segala anggota tubuh yang melekat pada kita, mengapa kita tidak menjaganya?. Paling tidak membersihkannya agar tetap awet dan tidak kotor terlebih lagi punah dimakan usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar