Sang guru Idaman
Bangun…Bangun…bangun..
Suara raksasa itu datang lagi. Teriakannya yang dibarengi pukulan dinding dan tiang-tiang yang tak berdosa itu sunguh tak asing dari telinga kami. Kini pukulannya lebih kencang. Entah dimana dia memungut kayu panjang yang bertengger di tangan kanannya. Yang jelas, setiap subuh ustadz bertubuh besar bak seorang raksasa itu membangunkan kami. Rumahnya hanya 100 meter dari pondok indah. Dia sangat jarang absent dalam hal membangunkan mahluk-mahluk nakal ini. Sungguh keterlaluan, bermimpi pun tak ada dispensasi yang kami dapatkan. Ani bagaikan robot yang telah dipencet tombol ok oleh pemiliknya. Dia sama sekali tak menghiraukan Maryam yang tetap pulas dengan selimut birunya. Maryam memang lagi berhalangan. Dia kedatangan tamu yang setiap bulannya berkunjung pada mahluk yang berstatus hawa. Jadi subuh ini, Maryam tak perlu berlomba bersama kami memperebutkan kamar mandi favorit. Kini dia bebas tidur.
Suasana tak jauh bedanya sebuah pasar. Sangat ribut. Ada-ada saja yang membuat suara kurcaci-kurcaci itu melenting. Ada yang kehilangan pasta gigilah, sabun pencuci mukalah, timba, ember, de es be deh…Terkadang mereka sendiri yang meminjamkan pada temannya, tapi lupa memintanya kembali. Yang paling menghebokan, subuh ini Miswara, tetangga kamarku itu baru saja bermandikan darah. Maaf, maksud aku bukan darah korban pembunuhan, yang terekam dalam siaran Buser, tapi darah kotor alias tamu kehormatan bagi mahluk-mahluk aneh ini. Tak jauh beda yang dialami Maryam.
“Hore.., aku tidak shalat, aku tidak perlu menerjemahkan kitab gundul yang sama sekali tak tahu kubaca tanpa bantuan ustaz sangar itu.” Girang Miswara.
Penghuni pondok ini memang sangat bersuka cita jika haid mendatanginya. Selain terbebas dari shalat yang bukan main lamanya, terlebih ustasz bejanggot itu yang mendapat giliran memimpin shalat subuh. Tak jarang dari kami sampai ketiduran dalam lantunan ayat-ayat Allah. Saking panjangnya surah yang ustaz Bakri bacakan, mereka bahkan berani menghianati penciptanya. Pernah ada teman yang mengajariku agar bisa bebas dari pengajian ustasz Bakri. Dia membawa obat merah, obat yang sering dibubuhi di jariku ketika teriris pisau, betadhin namanya. Dan sebuah pembalut softex di tangan kirinya. Aku tak tahu wanita gendut ini ingin melakukan eksperimen apa. Aku hanya memerhatikannya, Sinta sendiri tak berkedip melihat gebrakan si gendut. Dia mengajari kami bagamana membuat darah haid palsu. Sungguh konyol tingkah si gendut. Dia menyemprotkan betadhin ke softex secukupnya, sesuai selera, dan kesannya memang seperti darah benaran. Kini, senior utusan ustasz itu terkibuli dengan tingkah sintingnya Rara. Rara terbebas dari pemeriksaan senior tingkat kami. Karena dia berhasil membuktikannya kalau dia benar-benar kedatangan tamu. Hanya aku, Sinta dan Ani yang mengetahuinya. Dasar anak-anak. Wajar saja, usia mereka masih terlalu dini untuk hidup mandiri. Setamat SD orang tua mereka menitipkan mereka di tempat suci ini. Kelak bisa menjadi wanita sholeha. Dan sudah tentu kebanggaan setiap orang tua.
Tong..Tong..Tong..
Ya ampun, ustadz Bakri naik ke lantai tiga. Dia tanpa sadar memukul dinding kamar kami. Sinta melompat, menyambar timbah biru bertuliskan Trio kwek-kwek. Aku, Sinta dan Ani memang sudah dibai’at. Tak ada orang lain yang membai’at kami. Hanya kami bertiga yang saling mengucap janji setia. Saling mencintai, menyayangi, berbagi dan layaknya sahabat. Asesoris yang kami miliki semua sama, hanya kadang warnanya saja yang berbeda. Timbah, ember, dan perlengkapan mandi kami pun seragam. Dan semua bertuliskan Trio Kwek-kwek. Mendengar teriakan ustaz terhebat di pondok indah kami, Sinta hanya dalam waktu satu menit telah tiba di depan kamar mandi. Aku sendiri melipat selimut dan besiap-siap mandi setelah Sinta. Sinta yang kami nobatkan dalam hal kamar mandi minggu ini. Mungkin tidur Sinta tak begitu nyenyak, bebannya begitu berat. Harus memperebutkan kamar mandi favorit, kamar mandi terelit diantara puluhan kamar mandi. Lantainya bersih, airnya berhamburan, penerangnya pun tak terkalahkan, dan yang terpenting aman dari mahluk halus. Jangan salah, diantara puluhan kamar mandi itu, berbagai cerita menyeramkan telah terekam di kepala santri. Ada yang pernah mendengar suara tangisan di malam hari, tepat pukul 2.30 dini hari dan suara tawa, yang membuat bulu kudu berdiri tegap bagaikan barisan paskibraka. Itulah kenapa dalam hal mandi saja begitu gempar. Aku dan Ani bergantian menyusul cewek jawa itu.
30 menit berlalu. Semua kembali hening. Tak ada suara di lorong-lorong kamar. Ustasz itu telah menghilang. Tak ada lagi gedoran kamar. Pusat keramaian kini beralih ke sebuah ruangan yang sangat luas, mushallah. Lantunan ayat Allah terasa damai. Setiap dinding mushallah tak hentinya bertashbih melihat tingkah kami. Sungguh dunia yang perlu di huni anggota-anggota dewan yang telah lupa akan suatu hal. Kita bukan siapa-siapa.
Rumah Allah
Fajri sungguh keterlaluan. Dia sama sekali tidak menyimak pembahasan kitab Riyadu Shalihin ustasz itu. Entah kenapa kurcaci nakal asal kota Bone (salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan) ini begitu hebat dalam hal tipu menipu. Ani menganggap hal itu sebuah tipuan, karena Fajri bisa tidur sambil memeluk kitabnya, dan ustasz itu tak pernah memergokinya. Ilmu apa yah yang dimiliki Fajri?, setahuku di kampungnya itu tidak pernah populer akan ilmu-ilmu gaibnya. Kini giliran Sinta menerjemahkan kitab yang berada tepat di hadapannya. Kami bersiap-siap mendapat giliran setelah Sinta. Gawat, Fajri belum bangun juga. Tak ada di antara kami yang ingin membangunkannya. Melihat wajahnya saja kami tak mau. Kami tidak ingin sahabat kecil kami kedapatan bermimpi. Jika hal itu terjadi, bukan hanya Fajri yang kebagian imbasnya. Kami pun akan turut menikmati imbas yang mengerikan itu. Otomatis, kami akan dimasukkan ke ruangan yang sangat mengerikan. Ruang sidang namanya. Seperti meja hijau. Jika kami berbuat salah sedikit saja, tak segan-segan senior di atas tingkat kami akan melahab habis adik tingkatnnya. Tak jauh beda dengan kasus Klief Muntu, siswa STPDN.
Kamis, 15 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar