Kamis, 15 Januari 2009

Pondok Indah (2)

Sang guru Idaman

Bangun…Bangun…bangun..
Suara raksasa itu datang lagi. Teriakannya yang dibarengi pukulan dinding dan tiang-tiang yang tak berdosa itu sunguh tak asing dari telinga kami. Kini pukulannya lebih kencang. Entah dimana dia memungut kayu panjang yang bertengger di tangan kanannya. Yang jelas, setiap subuh ustadz bertubuh besar bak seorang raksasa itu membangunkan kami. Rumahnya hanya 100 meter dari pondok indah. Dia sangat jarang absent dalam hal membangunkan mahluk-mahluk nakal ini. Sungguh keterlaluan, bermimpi pun tak ada dispensasi yang kami dapatkan. Ani bagaikan robot yang telah dipencet tombol ok oleh pemiliknya. Dia sama sekali tak menghiraukan Maryam yang tetap pulas dengan selimut birunya. Maryam memang lagi berhalangan. Dia kedatangan tamu yang setiap bulannya berkunjung pada mahluk yang berstatus hawa. Jadi subuh ini, Maryam tak perlu berlomba bersama kami memperebutkan kamar mandi favorit. Kini dia bebas tidur.
Suasana tak jauh bedanya sebuah pasar. Sangat ribut. Ada-ada saja yang membuat suara kurcaci-kurcaci itu melenting. Ada yang kehilangan pasta gigilah, sabun pencuci mukalah, timba, ember, de es be deh…Terkadang mereka sendiri yang meminjamkan pada temannya, tapi lupa memintanya kembali. Yang paling menghebokan, subuh ini Miswara, tetangga kamarku itu baru saja bermandikan darah. Maaf, maksud aku bukan darah korban pembunuhan, yang terekam dalam siaran Buser, tapi darah kotor alias tamu kehormatan bagi mahluk-mahluk aneh ini. Tak jauh beda yang dialami Maryam.
“Hore.., aku tidak shalat, aku tidak perlu menerjemahkan kitab gundul yang sama sekali tak tahu kubaca tanpa bantuan ustaz sangar itu.” Girang Miswara.
Penghuni pondok ini memang sangat bersuka cita jika haid mendatanginya. Selain terbebas dari shalat yang bukan main lamanya, terlebih ustasz bejanggot itu yang mendapat giliran memimpin shalat subuh. Tak jarang dari kami sampai ketiduran dalam lantunan ayat-ayat Allah. Saking panjangnya surah yang ustaz Bakri bacakan, mereka bahkan berani menghianati penciptanya. Pernah ada teman yang mengajariku agar bisa bebas dari pengajian ustasz Bakri. Dia membawa obat merah, obat yang sering dibubuhi di jariku ketika teriris pisau, betadhin namanya. Dan sebuah pembalut softex di tangan kirinya. Aku tak tahu wanita gendut ini ingin melakukan eksperimen apa. Aku hanya memerhatikannya, Sinta sendiri tak berkedip melihat gebrakan si gendut. Dia mengajari kami bagamana membuat darah haid palsu. Sungguh konyol tingkah si gendut. Dia menyemprotkan betadhin ke softex secukupnya, sesuai selera, dan kesannya memang seperti darah benaran. Kini, senior utusan ustasz itu terkibuli dengan tingkah sintingnya Rara. Rara terbebas dari pemeriksaan senior tingkat kami. Karena dia berhasil membuktikannya kalau dia benar-benar kedatangan tamu. Hanya aku, Sinta dan Ani yang mengetahuinya. Dasar anak-anak. Wajar saja, usia mereka masih terlalu dini untuk hidup mandiri. Setamat SD orang tua mereka menitipkan mereka di tempat suci ini. Kelak bisa menjadi wanita sholeha. Dan sudah tentu kebanggaan setiap orang tua.
Tong..Tong..Tong..
Ya ampun, ustadz Bakri naik ke lantai tiga. Dia tanpa sadar memukul dinding kamar kami. Sinta melompat, menyambar timbah biru bertuliskan Trio kwek-kwek. Aku, Sinta dan Ani memang sudah dibai’at. Tak ada orang lain yang membai’at kami. Hanya kami bertiga yang saling mengucap janji setia. Saling mencintai, menyayangi, berbagi dan layaknya sahabat. Asesoris yang kami miliki semua sama, hanya kadang warnanya saja yang berbeda. Timbah, ember, dan perlengkapan mandi kami pun seragam. Dan semua bertuliskan Trio Kwek-kwek. Mendengar teriakan ustaz terhebat di pondok indah kami, Sinta hanya dalam waktu satu menit telah tiba di depan kamar mandi. Aku sendiri melipat selimut dan besiap-siap mandi setelah Sinta. Sinta yang kami nobatkan dalam hal kamar mandi minggu ini. Mungkin tidur Sinta tak begitu nyenyak, bebannya begitu berat. Harus memperebutkan kamar mandi favorit, kamar mandi terelit diantara puluhan kamar mandi. Lantainya bersih, airnya berhamburan, penerangnya pun tak terkalahkan, dan yang terpenting aman dari mahluk halus. Jangan salah, diantara puluhan kamar mandi itu, berbagai cerita menyeramkan telah terekam di kepala santri. Ada yang pernah mendengar suara tangisan di malam hari, tepat pukul 2.30 dini hari dan suara tawa, yang membuat bulu kudu berdiri tegap bagaikan barisan paskibraka. Itulah kenapa dalam hal mandi saja begitu gempar. Aku dan Ani bergantian menyusul cewek jawa itu.
30 menit berlalu. Semua kembali hening. Tak ada suara di lorong-lorong kamar. Ustasz itu telah menghilang. Tak ada lagi gedoran kamar. Pusat keramaian kini beralih ke sebuah ruangan yang sangat luas, mushallah. Lantunan ayat Allah terasa damai. Setiap dinding mushallah tak hentinya bertashbih melihat tingkah kami. Sungguh dunia yang perlu di huni anggota-anggota dewan yang telah lupa akan suatu hal. Kita bukan siapa-siapa.

Rumah Allah

Fajri sungguh keterlaluan. Dia sama sekali tidak menyimak pembahasan kitab Riyadu Shalihin ustasz itu. Entah kenapa kurcaci nakal asal kota Bone (salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan) ini begitu hebat dalam hal tipu menipu. Ani menganggap hal itu sebuah tipuan, karena Fajri bisa tidur sambil memeluk kitabnya, dan ustasz itu tak pernah memergokinya. Ilmu apa yah yang dimiliki Fajri?, setahuku di kampungnya itu tidak pernah populer akan ilmu-ilmu gaibnya. Kini giliran Sinta menerjemahkan kitab yang berada tepat di hadapannya. Kami bersiap-siap mendapat giliran setelah Sinta. Gawat, Fajri belum bangun juga. Tak ada di antara kami yang ingin membangunkannya. Melihat wajahnya saja kami tak mau. Kami tidak ingin sahabat kecil kami kedapatan bermimpi. Jika hal itu terjadi, bukan hanya Fajri yang kebagian imbasnya. Kami pun akan turut menikmati imbas yang mengerikan itu. Otomatis, kami akan dimasukkan ke ruangan yang sangat mengerikan. Ruang sidang namanya. Seperti meja hijau. Jika kami berbuat salah sedikit saja, tak segan-segan senior di atas tingkat kami akan melahab habis adik tingkatnnya. Tak jauh beda dengan kasus Klief Muntu, siswa STPDN.

Pondok Indah (1)

Rumah susun yang terletak tak jauh dari keramain kota kini telah musnah dilahap si jago merah. Kobarannya sangat tajam. Tak tersisa sekeping sajadah mungil milik santri santriwati. Apinya semakin merah, tak ada warna hijau, biru, ungu, terlebih pink yang menemani santapan api yang tak lagi bersahabat. Kini telah habis. Santri dan santriwati akhirnya digiring ke lokasi terbaru. Lokasi yang sangat jauh dari tempat semula. Syukur Alhamdulillah tak ada korban jiwa dalam insiden ini.
Tak pernah hilang, lepas bahkan melarikan diri semua memori Sinta di pondok indah itu. Pesantren Pondok Madinah. Itulah nama pondok indah Sinta. Pondok yang di dalamnya hanya menyanyikan nama-nama sang penguasa bumi. Tak ada kezaliman yang dibiarkan berkobar di sekolah kecil itu. Sungguh hanya asma Allah yang diagungkan di dalamnya. Hanya kitab-kitab yang berbagai jenisnya menemani hari-hari Sinta dan kawan-kawannya. Tak ada waktu sedetik pun terlewatkan untuk menonton televisi. Melihat aksi panggung fasha sang vokalis ungu. Keseksian Bunga Citra Lestari tak tertontonkan lagi. Mata, telinga, dan segala panca indra hanya asyik mendengar dan melihat huruf-huruf Allah.
Kriiing..kriinggg..kring…
Petanda shalat Ashar sebentar lagi akan datang. Seluruh penghuni bertaburan menuju sumber kehidupan. Yah, apalagi kalau bukan tempat mengambil air wudhu. Sinta dan penghuni kamar C.7 bahkan aku sendiri tak mau kalah. Secepat kilat menuruni anak tangga dari lantai tiga ke lantai satu. Seperti orang yang sangat takut kehabisan air. Bak air yang bervolume 3000 kubik tak akan kering hanya dengan kekurangan tujuh liter setiap santrinya.

WC Umum

Kotor, sampah berserakan kemana-mana, licin, itu bukan ciri WC kami. Bak raksasa yang tertancap di tengah adalah bak mandi kesayangan kami. Setiap harinya ada saja santri yang membersihkannya. Upz, maksud aku santriwati. Aku sebut saja santri karena terlalu panjang kalau aku harus menyebutnya santriwati. Lagipula tak ada makhluk adam di kompleks kami selain guru dan seorang satpam berwajah aneh. Hanya itu. Jumlahnya pun sangat bisa dihitung jari tanpa memerlukan bantuan jari kaki.
Tak lupa peralatan mandi ikut serta berlari bersama saat bel shalat Ashar itu berontak. Kali ini bel telah meraung-raung, waktu tersisa 30 menit lagi panggilan shalat akan ikut meraung. Sinta, Ani, dan aku sendiri masih punya waktu mensucikan seluruh badan dari ujung kepala hinga kaki. Bukankah menghadap sang Khalik dalam keadaan bersih dan cantik sangat baik?. Bahkan sejak kecil, orang tua kita selalu mewanti-wanti, kebersihan itu sebagian dari iman, besih itu pangkal kesehatan, dan mensucikan diri termasuk ibadah. Allah telah menitipkan segala anggota tubuh yang melekat pada kita, mengapa kita tidak menjaganya?. Paling tidak membersihkannya agar tetap awet dan tidak kotor terlebih lagi punah dimakan usia.

Kado untukmu

Kado untukmuKado untukmu

Sangat sulit memikirkan kalimat awal yang ingin kutulis. Tapi kalau hanya menunggu kata-kata dan rangkaian kalimat yang menurutku perfect, itu akan memakan waktu yang cukup lama. Aku terdiam. Tak ada suara. Tak ada tangisan tuch komputer. Tak ada canda tawa huruf-huruf kecil yang terangkai menjadi kalimat indah. Hanya jeritan Pasha sang vokalis ungu yang tak tahu diri melantunkan lagu kekekasih gelapnya. Ya ampun, ada apa gerangan diriku sampai-sampai artis yang tak pernah mengenalku apalagi menyakitiku ini mendapat cacian jahat dariku.

Tak ada satu kata yang berhasil kutemukan. Semuanya gelap, hitam, tak ada bayangan satu huruf pun. Oh tuhan, seperti inikah penulis-penulis lejitan itu membuat sebuah karya?. Atau hanya aku saja. Seorang mahluk yang tidak tahu diri. Yang hanya mampu berkaca melihat bayangan dirinya telah menjadi sorotan public karena novelnya yang begitu membuming. Aduh, khayalku kini makin menjauh. Aku jadi ingin tahu ilham yang kang Abik dapatkan untuk menulis ayat-ayat cinta-nya dengan cara apa. Aku ingin tahu Andrea Hirata menemukan kata pertama di novel edensor, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Maryamah Karpov dengan teknik apa?. Mengapa aku yang baru memulai saja begitu terasa berat. Huruf-huruf itu telah meninggalkanku. Mereka mengacukanku. Tak ada yang peduli dengan inginku. Ke-26 kurcaci itu telah menghianatiku.

Kado…kado.., teriakku. Aku telah menemukan empat kurcaci nakal itu. KADO, yah, kata itu yang pantas kuberikan padanya. Sekarang aku tinggal memikirkan kado apa yang sebaiknya kuberikan di usianya yang ke-24. Aku beranjak menyambar purse putih yang terdampar di sudut ranjangku. Sungguh kasian nasibnya. Selama seminggu ini aku tak pernah memperdulikannya. Aku sungguh acuh padanya. Aku tak simpati sedikitpun padanya. Tak ada yang menggerakan tanganku untuk membawanya saat aku meninggalkan rumah. Bahkan suatu hari, aku hanya menyapanya beberapa detik. Tak lama. Tak ada basa-basi. Dengan lincah jariku hanya mencuri kartu tanda penduduk yang setia menemaninya. Andai saja KTP itu bukan syarat lamaran dosen yang ingin kuikuti, mungkin dompet putih telah melupakan sang pemilik.

Tak ada lembaran yang bernilai di dalamya. Tak ada koleksian Pattimura dan pulau Tidore yang menemaninya. Apalagi lembaran merah yang kebanyakan dimiliki pengusaha besar. Saat ini uang seratus ribuku lagi cuti. Dan tak tahu kapan dia kembali. Aku tak sempat mengingatkannya agar cepat kembali. Yang aku ingat, aku meninggalkannya di sebuah toko buku. Pada seorang laki-laki setengah baya berkopiah putih. Kalau tak salah ingat, namanya ustaz Asrul. Yah, ustaz Asrul, aku ingat jelas dia menuliskan nama dan nomor telphonnya padaku di secarik kertas. Oh tuhan, dia benar-benar kutinggalkan di sana. Aku telah menzaliminya. Aku bahkan tega menukarnya dengan dua buah novel dan satu buah buku kepribadian karangan Yusuf Luxori.

Otakku kembali menguras semua ingatannya. Mencari hadiah yang pantas untuknya. Pikiranku tak beranjak. Masih berputar. Berkeliling seakan ingin mencari luas lingkaran yang diperoleh dari perkalian phi dan kuadrat jaraknya. Aku masih menelusuri celah demi celah hingga mendapatkan kado spesial tanpa harus mengeluarkan duit. Lagi lagi duit. Kemana-mana duit. Seperti lagu saja. Lagu kematrealistisan yang sempat dipopulerkan saudara perempuan penyanyi mbah dukun itu. Aku lupa namanya. Bagiku tak penting menitipkan nama itu di memoriku. Aku jadi berpikir bagaimana membuat pabrik uang. Biar aku bisa memberi semua sang pencinta kertas yang sama sekali tak ada nilanya di mata sang pemilik bumi. Ya Allah…lindungilah kami. Jauhkan kami dari azabMU. Amin

Bermegah-megah telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim.” (QS. At-Takatsur:1-6)

Sejam lebih aku masih dalam kebingungan, aku sama sekali tak bisa memberiya apa-apa. Saat ini aku tak bsa membelikannya sebuah kado.


































































































Senin, 12 Januari 2009

PesanKu Sebelum Mati

Bismillahir rahmanir rahiem,

Keluargaku yang kusayangi,

Aku tidak tahu kapan Sang Pemilik jiwaku ini memanggilku.
Namun demikian rasa khawatirku untuk tidak meninggalkan kesusahan dan keburukan sepeninggalku, telah mendorongku untuk berwasiat kepadamu sekalian.

Hendaklah kamu sekalian tidak bersedih hati dengan apa saja yang luput darimu dan tidak pula meratapi apa2 yang telah ditakdirkan Allah (swt) agar menjadi bagian dari kisah kehidupan di dunia ini. Kematianku tidaklah berbeda dengan kematian manusia lainnya. Yang demikian adalah karena setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku tidak dapat memberi jaminan hidup atas hidupku sendiri sebagaimana aku tidak dapat memastikan apa yang dapat kita lakukan esok hari dari rencana2 kita. Yang demikian adalah karena kita adalah hamba2 Allah yang tidak memiliki sedikitpun kekuasaan dan kemampuan kecuali sekedar apa yang diberikan-Nya yang sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya.

Jika aku mati, hendaknya kamu sekalian tidak panik. Kematian adalah perkara biasa yang orang lain juga menghadapinya. Uruslah jenazahku dengan kemampuan terbaik kalian. Jika aku sempat mandi sebelum aku mati, maka hendaklah tidak seorangpun yang mengulanginya. Kewajiban kalian adalah menutupi bagian2-ku yang masih terbuka dengan kain (kafan). Jika tidak, maka mandikan dan bersihkanlah bagian2 yang penting sebelum kalian mengkafaniku sehingga aku layak untuk menghadap Allah (swt).

Jika hanya seorang dari kalian yang ada di sisiku pada saat kematianku, hendaklah kamu memberitahu tetangga terdekat yang sekiranya mereka dapat membantu menguruskan jenazahku atau mereka memberitahu orang lain yang layak untuk memandikan dan mengkafankan jenazahku. Untuk hal ini, hendaklah mereka termasuk orang2 yang amanah yang dapat menjaga aurat dan aibku dengan baik.

Di bumi mana aku mati, maka tempat yang paling layak dan paling baik bagi jenazahku adalah tanah perkuburan yang terdekat dengan tempat kematianku. Yang demikian lebih aku sukai agar tempatku termasuk hal2 yang akan dapat memberi kesaksian tentang apa yang telah aku kerjakan buat agama ini. Oleh karena itu, janganlah se-kali2 kalian mencoba mengangkut atau membawa jenazahku lebih jauh dari tempat itu.

Dan jangan biarkan jenazahku menunggu. Jangan pula seorang dari kalian, orangtua, sanak famili, sahabat, handai tolan dan kawan2 baikku dijadikan alasan untuk menunda jenazahku masuk liang lahat. Selain perkara ini tidak membebani mereka yang mengurus jenazahku, hal itu juga lebih baik bagi mereka yang datang kemudian.

Jika yang datang kemudian adalah dari golongan orang2 yang sholeh, maka sudah tentu mereka akan tahu cara menolongku dengan pertolongan ghaib. Sebaliknya, jika yang datang kemudian adalah orang2 yang belum sempurna agamanya, maka hal itu tidak akan menambah kesalahan dan dosa mereka.

Tahanlah lisan kalian dalam mengekspresikan rasa bela sungkawa atau duka cita kalian. Meskipun aku rela kamu mencurahkan air matamu, tetapi janganlah se-kali2 kamu meratap atau mengeluarkan kata2 kesedihan. Yang demikian adalah karena selain hal itu akan menyusahkanku di kubur, hal itu juga akan menjadi dosa bagimu.
Berserah dirilah kepada Allah (swt) tidak saja dalam urusan rezekimu, tetapi juga dalam semua aspek kehidupanmu. Yakinlah dengan keyakinan yang bulat bahwa Allah (swt) maha cermat dalam mengurus semua makhluk-Nya. Dia mustahil ceroboh sebagaimana Dia mustahil berbuat zhalim kepada ciptaan-Nya sendiri. Karena itu, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat.

Keluarga-ku, jika kelak kalian merindukanku, maka pasti dan pasti kalian akan menjumpaiku di akhirat hanya jika Allah (swt) ridho kepada kalian. Yang demikian adalah jika aku tercampak ke dalam neraka, maka sebagai ahli surga kalian dapat dengan mudah menziarahiku [5]. Sebaliknya, jika dengan rahmat-Nya, Allah (swt) memasukkanku sebagai salah seorang ahli surga, maka sesungguhnya tiada halangan apapun antara sesama ahli surga untuk saling menziarahinya.

La ilaha illallah Muhammadur rasulullah. Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar wa la haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil azhim. Subhanallah.